Wacana mengenai kemungkinan tentara berbisnis atau memiliki kegiatan usaha di luar kedinasan aktif baru-baru ini menjadi topik hangat dan memicu reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat. Ide ini dianggap kontroversial dan berpotensi menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap profesionalisme, netralitas, serta citra Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gelombang penolakan terhadap gagasan anggota TNI berbisnis ini cukup signifikan dan melibatkan berbagai elemen, mulai dari pengamat militer hingga organisasi masyarakat sipil.
Kritik utama terhadap gagasan tentara berbisnis berakar pada kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan. Tugas utama seorang tentara adalah menjaga kedaulatan negara dan keamanan nasional. Keterlibatan dalam kegiatan berbisnis dikhawatirkan dapat mengalihkan fokus dan loyalitas dari tugas pokok tersebut. Selain itu, netralitas TNI sebagai institusi negara yang harus berdiri di atas semua golongan juga dipertanyakan jika anggotanya memiliki kepentingan ekonomi pribadi melalui berbisnis.
Menurut pernyataan seorang ahli hukum tata negara, Dr. Ratna Sari, dalam sebuah seminar nasional di Universitas Bhayangkara pada tanggal 28 Juli 2025, gagasan berbisnis berpotensi melanggar prinsip profesionalisme dan netralitas TNI yang diamanatkan oleh undang-undang. Beliau menambahkan bahwa tentara berbisnis dapat membuka peluang terjadinya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang demi keuntungan pribadi.
Lebih lanjut, berbagai organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu-isu reformasi sektor keamanan juga menyampaikan adanya penolakan keras terhadap wacana ini. Mereka berpendapat bahwa berbisnis didalam militer dapat menciptakan persaingan yang tidak sehat dengan pelaku usaha sipil dan berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi. Fokus utama tentara berbisnis seharusnya adalah pada peningkatan kemampuan tempur dan pengabdian kepada negara.
Meskipun demikian, ada beberapa pandangan yang mencoba melihat isu tentara berbisnis ini dari sudut pandang yang berbeda, terutama terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan prajurit. Namun, pandangan ini cenderung kalah kuat dibandingkan dengan arus penolakan yang mendominasi opini publik.
Sebagai kesimpulan, perbincangan mengenai tentara berbisnis telah memicu gelombang penolakan yang signifikan dari berbagai elemen masyarakat. Kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan, terganggunya fokus pada tugas utama, serta risiko terhadap netralitas dan profesionalisme TNI menjadi alasan utama penolakan terhadap gagasan ini.