Isu mengenai Peran Ganda Militer, yang populer dengan sebutan dwifungsi TNI di masa lalu, kembali menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Kekhawatiran muncul setelah Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto melontarkan pernyataan tentang “multifungsi” TNI, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai sinyal kembalinya keterlibatan militer dalam urusan-urusan sipil. Polemik ini memicu diskusi serius tentang batas-batas tugas dan fungsi TNI dalam sebuah negara demokrasi.

Dwifungsi TNI di masa Orde Baru memungkinkan militer memiliki peran ganda, tidak hanya di bidang pertahanan keamanan tetapi juga di bidang sosial politik. Setelah reformasi 1998, dwifungsi secara resmi dihapus untuk mengembalikan TNI pada fungsi profesionalnya sebagai alat pertahanan negara. Namun, Peran Ganda Militer kembali disorot ketika ada indikasi bahwa TNI mulai merambah area-area yang sebelumnya menjadi domain sipil. Menurut Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, pernyataan Panglima TNI mengenai “multifungsi” dianggap mengkonfirmasi kekhawatiran ini, di mana TNI tidak hanya berkutat pada pertahanan tetapi juga pada urusan sipil yang berorientasi pelayanan publik.

Kekhawatiran publik terhadap Peran Ganda Militer beralasan. Keterlibatan militer dalam urusan sipil berpotensi mengganggu prinsip profesionalisme TNI, yang seharusnya fokus pada pertahanan dan keamanan. Selain itu, hal ini juga dapat mengikis ruang sipil dan mendominasi sektor-sektor yang seharusnya diisi oleh warga sipil. Diskusi publik mengenai isu ini seringkali dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dan akademisi, misalnya dalam sebuah seminar pada hari Kamis, 7 Juni 2024, pukul 16:32, di universitas terkemuka.

Polemik ini diperkuat dengan munculnya beberapa usulan kontroversial dalam draf revisi Undang-Undang (UU) TNI. Usulan tersebut meliputi perpanjangan batas usia pensiun bagi perwira TNI dan izin bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di lembaga-lembaga pemerintahan. Jika draf ini disahkan, akan ada peluang bagi Peran Ganda Militer yang lebih masif. Untuk menjaga objektivitas, lembaga pengawas, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mungkin akan merilis pernyataan atau hasil kajian mereka terkait usulan-usulan ini pada tanggal 15 Juli 2024.

Penting bagi semua pihak untuk terus mengawal isu ini. Menjaga TNI tetap berada di koridor profesionalismenya sebagai alat pertahanan negara adalah esensial untuk pembangunan demokrasi yang sehat dan kuat. Diskusi yang konstruktif dan partisipasi publik aktif diperlukan untuk memastikan bahwa TNI tetap menjadi kekuatan yang dihormati dan dicintai rakyat, tanpa mengemban fungsi yang dapat menimbulkan kekhawatiran publik.